Moda Raya Terpadu dan Kemewahan Batavia (part 2)
Kami mengambil tempat di lantai dua café tersebut. Bgeitu masuk ke dalam
café pun, sudah terlihat kesan mewah dari interior
dan dekorasi klasik hingga ke setiap sudut café. Gak heran kalau café itu
dibilang berkelas karena tempatnya aja sudah sangat nyaman. Ruang makan di
lantai dua terletak setelah ruangan lounge
dan bar, menghadap langsung ke Museum
Fatahilah. Ruang makannya full AC, dengan kursi kayu ringan dan meja berselimut
taplak putih dengan hiasan batik, yang dilengkapi vas kecil dan tempat
garam-merica. Pelayan disana berseragam rapih semua, lengkap dengan kebaya dan
sepatu pantofel. Bahkan, mereka juga memakai intercom untuk berkordinasi. Suasana ruang makan yang tenang
diiringi dengan alunan musik klasik, membuat kami merasa sedang makan siang di
Titanic. Pelayan datang membawakan buku menu, yang langsung gua buka. Gua mulai
menaruh tangan di kepala saat melihat harga makanan yang luar biasa istimewa,
bahkan air mineral pun dibandrol dengan harga Rp. 40,000 (Aqua Reflection Sparkling,
Milady!) Gua sempat berniat untuk
kabur dari situ, tapi ternyata ruang makan diawasi oleh para pelayan. Oke
baiklah! Gua akhirnya memutuskan untuk
memesan Sate Sapi Jepara dan Iced Lychee Tea, sementara Syavick memesan
Spaghetti Carbonara dan Lime Squash. Tak berapa lama, pelayan kembali ke meja
kami,
“Bu
(yup, people always mistake me as a
mid-40 woman), maaf, untuk sate sapi nya ternyata sedang sold out. Mau
diganti dengan menu lain?” Tanya pelayan
“Oh,
habis ya, mbak.” Gua bertingkah sok kecewa,
“Iya.
Kalau mau diganti, bisa dengan Sate Ayam Madura, bagaimana?” tawar pelayan,
“Harga
nya sama ya?” Tanya gua. Seriously, gua gak ngerti kenapa gua bisa auto-borjou saat makan disini,
“Sebentar
ya, Bu, saya cek dulu.” Pelayan beranjak mengambil buku menu sebelum kembali ke
meja kami. Gua lihat harga sate ayam nya lebih murah, langsung menerima tawaran
penggantian menu dari pelayan tersebut.
“psst..
aay! Lebih murah 30 ribu ternyata.” Bisik gua pada Syavick,
“Wah
iya? Bagus lah..” tanggapnya,
“Seriusan,
keluar dari sini, miskin kita. Jalan kaki nih pulang ke Utan Kayu!” ledek gua
sambil berbisik, sementara ia hanya tertawa cekikikan menanggapi gua. Ah
sudahlah. Lupakan dulu masalah dompet, nikmati aja dulu makan siang ini.
Makanan yang kami pesan akhirnya datang dan kami mulai menyantap isi
piring masing-masing. Asli, sate ayam nya ternyata enak banget! Daging ayamnya
matang "well done", tapi empuk dan juicy, sementara saus kacangnya lembut. Jadi
ini ya versi mewah dari sate ayam Madura. Luar biasa! Iced lychee tea pesanan
gua juga gak sembarangan. Buah lychee nya ada tiga dan besar semua, sementara
teh nya bening, gak berasa sepah sama sekali. Well, harga berbanding lurus dengan kualitas. Kualitas berkelas
pasti menuntut harga yang pantas. Setelah dua suapan pertama, gua dan Syavick
bertukar makanan untuk saling mencicip. Tiba-tiba, ada seorang pelayan lain
menghampiri meja kami,
“Selamat
siang, bapak, Ibu. Bagaimana spaghetti carbonara nya? Apakah ada yang kurang?”
Tanyanya,
“Ehm…
saus nya kurang sih, mas, jadi agak kurang creamy.”
Jawab Syavick,
“Mau
ditambahkan saus nya? Boleh saya minta piringnya?” Tanya pelayan itu, Syavick
menyerahkan piringnya dan pelayan itu membawanya kembali ke dapur. Wow, itu
udah dimakan lhoo! Gak cuma makanannya yang enak dan suasana tempat yang
nyaman, tapi pelayanannya juga sampai seramah itu. Gua Cuma bisa menggeleng pelan dengan takjub.
Ini adalah salah satu makan siang paling istimewa yang pernah gua alami.
Setelah menunggu agak lama, pelayan tadi kembali ke meja kami untuk
menyerahkan spaghetti yang sudah ditambahkan saus. Kami lanjut bersantap siang
sambil mengamati beberapa orang yang juga sedang makan siang di ruangan itu.
Setelah selesai menyantap makanan, kami kembali mengobrol dengan suara
perlahan,
“Sepi
ya. Kayaknya baru rame saat makan malam deh.” Kata Syavick,
“Iya
kayaknya. Kan buat orang luar, makan malam itu sakral. Acara ceremonial mereka
juga biasanya kan diadakan saat makan malam.” Balas gua,
“Gua
penasaran dah, kira-kira pelayan disini menguasai berapa bahasa asing ya?
English kan udah pasti, kira-kira apa lagi ya? Perancis, Spanyol… Mandarin kali
ya.” Kata gua,
“Tuh,
ada satu yang lagi ngomong pake bahasa Inggris.” Kata Syavick, mengarahkan
pandangan ke arah belakang gua. Gua menoleh dan terlihat seorang pelayan sedang
berbicara dengan sepasang turis asing. Menerima pengunjung asing dari berbagai
Negara, semua pegawai disini pasti harus memiliki kemampuan bahasa asing yang
mumpuni.
Setelah berbincang dan foto-foto sedikit, kami meminta tagihan untuk
segera membayar. Selembar kertas putih mendarat di meja, bertuliskan harga Rp.
412,600,-. Betapa mewahnya makan siang kami hari ini! Gua memilih untuk bayar
patungan dengan cash. Setelah
membayar, kami hitung-hitungan kembalian, lalu beranjak meninggalkan meja untuk
turun ke lantai bawah dan keluar dari Café Batavia yang melegenda itu.
“Gila!”
seru gua saat sudah berada di luar,
“Itu
makan siang paling gila! Gua gak akan lupa makan siang disitu! Cukup satu kali
ini aja wehh, gak akan lagi gua makan disitu hahahaha…” seloroh gua, Syavick
pun juga ikutan tertawa. Gua berangkat dengan membawa uang saku sekitar Rp.
300,000, dan tersisa tinggal Rp. 100,000, hanya dengan satu kali makan siang.
Gua gak akan lupa dengan tempat itu, yang telah menyaksikan kesombongan seorang
Pramita Diana…hahaha!
Di Kota Tua, kami berkeliling dengam menyewa sepeda seharga Rp. 20,000.
Setelah itu, kami berkunjung ke Museum Seni Rupa dan Keramik yang berada di
sekitar kawasan tersebut. Puas melihat koleksi Museum Seni Rupa, kami beranjak
pulang dengan menaiki kereta dari Stasiun Jakarta Kota. Berhubung Syavick
menyusul gua dengan menaiki sepeda motor dari rumah, ia memarkirkan motor di
Pasar Blora, dekat Stasiun Sudirman. Jadi, kami harus turun di Stasiun Cikini
untuk naik bis ke halte Tosari dan jalan kaki kesana buat mengambil motor.
Fuuhh! Melelahkan, tapi jalan-jalan kami hari ini penuh dengan keseruan, karena
kami berpetualang bersama sepanjang hari. Mulai dari naik MRT bolak balik Lebak
Bulus-Dukuh Atas, jalan-jalan di Kota Tua sampai makan siang “mewah” di Café
Batavia, sebelum kembali mengarungi kemacetan Ibu Kota di jam pulang kantor.
Buat kami, perjalanan kali ini menjadi perjalanan yang istimewa dengan cerita
yang jauh lebih segar dan ceria. Selanjutnya kira-kira kemana lagi ya? ///
Komentar
Posting Komentar