Limit
Go beyond what others believe you
can. Tanpa kita sadari, seringkali kita telah melampaui suatu ekspektasi dari
kebanyakan orang. Entah kenapa kita hanya merasakan perjuangan yang semakin
berat, tapi ternyata orang lain terperangah tidak percaya atas apa yang sudah
kita lalui.
Ini cerita gua pada short escape
harpitnas Maulid Nabi kemarin. Gua beserta keluarga hendak mengunjungi salah
satu kakek gua di Solo dan kerabat keluarga lainnya di Jogja. Kami berangkat
Sabtu (17/11) dinihari dan tiba di Gombong untuk stay siang harinya. Singkat
cerita, setelah semua agenda kunjungan ke Solo dan Jogja selesai, gua
sekeluarga pun pamit pulang ke Jakarta pada Rabu (21/11) pagi. Sebelum pulang
ke Jakarta, kami sekeluarga memutuskan untuk mampir ke kediaman suster yang
merawat nenek gua di daerah Brebes. Berangkatlah gua dan keluarga dari Gombong
menuju Brebes.
Posisi gua di mobil itu selalu
sebagai navigator, jadi gua yang pegang GPS dan nunjukin jalan apakah mobil gua
kudu belok kiri, belok kanan dan tujuan kami ada di sebelah mana. Gua pun cari
rute ke Brebes, bokap udah request ke gua untuk menghindari daerah Ajibarang
sebisa mungkin, karena macet. Gua pun mengiyakan. Rute ketemu, gua cabut. Gua
mengarahkan mobil sesuai dengan rute yang ditunjukkan Gmaps. Semua berjalan
aman, hingga mobil sampai di daerah Cilacap. Mobil mulai menemui jalan halus
yang lumayan berkelok melewati bukit dan perkebunan karet. Hm... ini dimana ya?
"Kayaknya ayah belom pernah lewat sini deh, Mit."
kata bokap gua, gua cuma nyengir. Haha... gawat nih kalo sampe nyasar disini.
Mobil terus melaju, menikmati ayunan jalan yang berkelok landai. Pepohonan yang
lebat di sekitar jalan yang halus menciptakan atmosfir yang teduh dan
menenangkan. Tapi ternyata semua itu hanyalah tenang sebelum badai.
Medan yang kami lalui ternyata
semakin terjal dan mulai menanjak. Gua mulai nervous, aduh apa gua salah jalan
ya? Gua pun memeriksa Gmaps berulang kali, mobil masih dalam keadaan on track.
Gua bingung asli, gua cuma bisa berharap kalau kami gak nyasar. Semakin kami
teruskan, medan semakin berat, dengan tanjakan yang semakin tinggi dan menikung
tajam. Gua yang mulai pusing karena efek ngopi dan jalanan yang berliku, makin
pusing karena panik. Akhirnya, mobil sampai di sebuah kawasan hutan yang
menanjak tajam dengan tebing besar bertanah merah dan jurang di sampingnya.
"Ya Allah, ini apa? Masa lewat sini?" gua
menjerit dalam pikiran. Gua memejamkan mata dan berpegangan erat, takut dan
panik benar-benar bercampur dalam pikiran gua. Perlahan, mobil bergerak
naik ke tanjakan itu, beberapa kali nyaris berhenti. Satu per satu tikungan
dilewati seraya terus berusaha melewati tanjakan lainnya. Gua benar-benar
berdoa supaya mobil gak merosot ke belakang dan jatuh. Daerah yang kami lalui
itu baru saja terkena longsor beberapa bulan yang lalu dan jalan yang kami
lalui pun masih dibatasi pagar-pagar kayu. Ya… terbayang gimana panik nya gua
saat itu. Gua yang pegang GPS, ya gua yang tanggung jawab kalau mobil ini
sampai nyasar ke jurang antah berantah.
Setelah menaiki tanjakan-tanjakan
curam, kami mulai bergerak turun. Turunannya pun gak selow, mirip dengan
turunan 90 derajat ala roller coaster dengan tikungan tajam menanti dibawahnya.
Gua kayaknya lupa gimana cara bernafas yang benar saat itu saking paniknya.
Akhirnya, setelah hellish ride itu kami sekeluarga bisa sampai di desa
Cipajang, kampung halaman suster. Sampai di kediaman suster gua, kami bertemu
dengan ibunya. Kami dijamu, disuruh duduk dulu. Seraya memakan buah mangga yang
sudah disuguhkan kepada kami, ibu dari suster gua bertanya,
“Tadi kesini lewat mana, bu?”
“Kami lewat sana, lewat hutan yang jalannya nanjak” Jawab
nyokap gua,
“Nanjak yang belok-belok? Yang ada jurangnya gede?” Tanya
ibu, ada keterkejutan yang hendak keluar dari nadanya. Setelah nyokap gua
mengiyakan,
“Astaghrifullahal’adzim!” serunya,
“Itu mah Gunung Lio, Ibu! Kemarin disitu mah longsor besar,
medannya berat! Ya Allah..” ujar beliau. Beliau bilang kalau kawasan itu memang
terkenal dengan medannya yang berat karena tanjakan dan turunannya yang sangat
curam dan tikungannya yang tajam. Bahkan, kawasan itu tidak dianjurkan untuk
dilintasi oleh pengemudi yang tidak mengenal medan disana dengan baik, karena
bisa sangat berbahaya. Longsor yang melanda kawasan tersebut beberapa bulan
lalu pun membuat minat orang-orang untuk melintasinya semakin ciut, bahkan
penduduk asli di sekitar jalur tersebut. Jalur itu biasa digunakan oleh
kendaraan pengangkut hasil hutan untuk turun ke kota, bukan untuk naik ke
pedalaman seperti yang kami lakukan. Beliau juga menceritakan bahwa Gunung Lio
dikenal sebagai kawasan keramat yang kadang memakan korban. Di kesadaran gua
yang masih tersisa, gua benar-benar bersyukur kami sekeluarga baik-baik saja.
Setelah satu jam kami singgah di desa
Cipajang, kami meneruskan perjalanan untuk pulang ke Jakarta. Kami melewati
jalur lain yang lebih landai dan lurus mengambil arah ke Ketanggungan, sebelum
akhirnya mencapai akses tol Pejagan. Belakangan, gua baru tahu bahwa jalur itu
sebenarnya merupakan jalur alternatif yang menghubungkan Brebes-Cilacap ke arah
daerah selatan Jawa Tengah. Hanya saja, jalur itu lebih sering dilewati oleh
bis dan kendaraan berat, jadi memang jarang diketahui oleh kendaraan pribadi
yang lebih kecil. Short escape gua pun selesai, ditutup dengan pengalaman rada
nightmare yang menuntut gua untuk menuliskannya sesegera mungkin.
Hampir semua orang yang dengar
cerita kami tentang perjalanan kami melewati Gunung Lio katanya kaget dan gak
percaya. Like they said that it’s impossible for outsiders with deficient
knowledge about that area like us could drive through there without getting
scratched, or at least got stuck when we climbed the cliff. But well, here we
are, safe and sound. Mungkin karena kami sekeluarga ini dari kota yang gak
pernah tahu daerah sana seperti apa sebelumnya, melewati daerah yang bahkan penduduk
aslinya masih berpikir dua kali untuk melintasinya. To me, it’s inspiration of
giving a shot. You’ll never know how far you can go through if you never take
any step. Maybe you’ll find that the road keeps getting further and tougher,
and you feel that you want to give up, but don’t! Once you get to your goal,
people will look at you in awe. Setiap terowongan, segelap dan sepanjang apapun
itu, pasti punya ujung cahaya di depannya. So, take a deep breath and just enjoy
your journey.//
Komentar
Posting Komentar