Impulsif Membawa Cerita
Ada
aja keajaiban dalam kehidupan kita sehari-hari. Keajaiban itu bisa lucu,
menyedihkan, menakutkan, bahkan mengharukan. Hal-hal “ajaib” selalu nunggu kita dimana aja
tanpa kita tahu kapan mereka datang dan hal-hal itu terjadi biasanya untuk
mengingatkan atau mengajarkan sesuatu pada kita. Dan inilah cerita “ajaib” dari
perjalanan singkat gua ke kampus kemarin.
Jum’at,
24 Mei 2019. Gua sebenarnya gak berencana untuk pergi kemanapun hari itu. Gua
pengen di rumah aja seharian, seperti biasa. Iseng-iseng, gua bikin draft
question list sementara buat penelitian skripsi gua. Setelah satu jam ngerjain
daftar itu, gua dapet 20 butir pertanyaan untuk dua kategori dalam penelitian
gua. Gua berpikir disitu,
“Pertanyaan
udah jadi, revisian udah kelar. Apa gua serahin sekarang aja ke kampus ya? Tapi
jauh juga ke kampus Cuma buat nyerahin beginian doang. Mana panas banget lagi
di luar. Apa senin aja ya? Tapi kalo senin, gua kapan turun wawancaranya?”
Lalu,
sisi ambisius gua yang sedang bersemangat akhir-akhir ini, mulai menghasut gua
untuk segera mengumpulkan draft itu
ke kampus, beserta hasil revisiannya. Biar cepet kelar, Mit! Bisiknya.
Akhirnya, gau memutuskan untuk pergi ke kampus setelah shalat zuhur. Singkat
cerita, berangkatlah gua ke kampus dengan hanya membawa sebuah map bening
berwarna merah, menaiki Grab bike. Iya, gua cuma bawa itu. Gua mengenakan jaket
almamater PASTISA yang punya banyak kantong, jadi gua gak perlu bawa tas untuk
membawa handphone dan dompet kecil gua. Gua sedikit takut karena driver nya
ngebut dan nyelip sana sini (masih trauma, hehe), tapi gua bersyukur bisa sampe
kampus tanpa lecet. Gua langsung menuju ke tempat fotokopian di dalam kampus
dan nge print dokumen yang gua
butuhkan. Setelah itu, gua beranjak ke sekretariat fakultas, karena ruang kerja
dosen pembimbing gua ada disitu. Gua letakkan map merah gua di map kuning di atas rak buku beliau, cabut
keluar dan pulang. Yak, kalian sedang membaca kisah impulsivitas seorang
Pramita Diana. Ke kampus menembus terik matahari Jakarta cuma buat ngumpulin revisian
skripsi.
Gua
keluar dari lingkungan kampus lewat gerbang samping dan hendak memesan Grab
bike. Saat gua cek harganya, Rp. 42,000,-. What?
Gua kesini aja udah Rp. 36,000,- dan harus ngeluarin Rp. 42,000,- lagi buat
pulang? No, thanks. Gua memilih naik
Transjakarta aja. Gua berjalan ke halte Bendungan HIlir dan entah kenapa gua
mager buat naik ke jembatannya. Jadi gua jalan lebih jauh ke Stasiun MRT Bendungan
Hilir. Lumayan, buat ngadem sampe Bundaran HI. Setelah sampai di stasiun
Bundaran HI, gua turun dan bergerak keluar stasiun. Gua mengambil jalan ke
pintu keluar A, naik ke atas dan muncul di depan Grand Indonesia. Eh? Wait.
Jalan MH Thamrin ternyata masih ditutup untuk kendaraan pasca demo besar hari Rabu
lalu. Gua menemukan masih banyak petugas kepolisian di sepanjang jalan itu,
dari depan Bundaran HI sampai ke perempatan Sarinah. Para petugas kepolisian
itu tengah beristirahat. Bahkan begitu gua keluar stasiun, gua bertemu
segerombolan polisi yang tengah bernyanyi bersama sambil main gitar di
pelataran mall. Gua menyebrangi Jalan MH Thamrin tanpa dosa, serasa ruas arteri
ibukota itu punya gua. Gua tadinya sempat kepo mau mendekat ke Sarinah, tapi
gua urungkan karena hari sudah sore. Gua pun berjalan ke arah Jalan Imam Bonjol
untuk menaiki bis Transjakarta ke arah TU Gas yang akan membawa gua pulang.
Sampai
di halte bis Imam Bonjol, gua menemukan hal lain. Ruas jalan Imam Bonjol juga
masih ditutup sampai melewati gedung KPU. Jadi kendaraan yang masuk ke jalan
itu diarahkan untuk berbelok ke kiri ke Jalan Agus Salim. Bis gua pun tiba dan
terpaksa bis ikut berbelok ke kiri. Disini lah keajaiban terjadi. Pengemudi bis ternyata tidak hafal jalan itu
dan bersikeras harus mematuhi aturan untuk melewati trayek yang sudah
ditentukan. Alhasil, pengemudi bis ingin melewati jalan yang akan tembus di
Taman Suropati, supaya tetap on track
dengan trayek. Beberapa penumpang berusaha memberi arahan kepada pengemudi bis,
tapi sang pengemudi ini sepertinya gak percaya sama arahan penumpang. Bis
sempat salah jalur dan harus berputar balik. Mana lagi ruas Jalan Agus Salim
cukup sempit, jadi selama berputar balik, kami menimbulkan antrian kendaraan
yang lumayan panjang. Bis terus berjalan, akhirnya bis sampai di Stasiun
Gondangdia di daerah Medan Merdeka Timur.
“Belok
kanan, pak. Nanti timbul di Kanisius, putar balik. Tembusnya di Stasiun Cikini.”
Ujar salah seorang penumpang,
“Sabar,
pak! Ini bis nya kalo gak muat lewat gimana?” sahut sang pengemudi.
Door man bis akhirnya turun untuk
memastikan dan ternyata bis dirasa cukup muat untuk berbelok ke kanan, ke arah
yang dimaksud. bis sampai di ujung Jalan Cut Mutia, keluar di Tugu Tani dan
hanya perlu putar balik lagi ke jalan Menteng Raya. Sayangnya, gak semudah itu.
Putaran balik terdekat ternyata jauh, mendekati Stasiun Gambir. Ditambah lalu lintas yang mulai padat dengan orang yang pulang kantor lebih cepat, bis agak kesulitan untuk kembali ke Jalan Menteng Raya. Gua sebenarnya
pegang GPS saat itu dan bisa saja mengarahkan bis, tapi karena gua liat sikap
driver bis nya begitu dan gua gak tau juga apakah jalan itu bisa dilewati bis
atau enggak, jadi gua diam. Eventually, bis akhirnya
bisa berputar balik dan kembali ke jalan yang benar. Gua
turun di halte Megaria, menunggu pacar gua yang bersikeras ingin jemput gua, lalu pulang ke rumah.
Dari
hal ajaib itu gua berterima kasih pada para demonstran hari Rabu lalu, yang
sudah menyebabkan Jalan MH Thamrin dan Jalan Imam Bonjol ditutup. Terima kasih
karena jalan yang ditutup itu gua jadi bisa jalan-jalan naik Transjakarta
bersama segelintir penumpang lainnya. Mungkin gua seharusnya tetap di rumah dan
menunggu hari senin untuk mengumpulkan draft skripsi gua, tapi kalau gua di
rumah, gua gak akan menyaksikan langsung kondisi tempat kejadian dan gua gak
akan dapetin inspirasi menarik untuk gua ceritakan di blog ini. Itu “keajaiban”
yang terjadi sama gua kemarin. Gimana dengan kalian?
Komentar
Posting Komentar