Melangkah di bumi Serambi Mekkah
Serambi Mekkah. Tanah Rencong. Demikian nama-nama julukan dari bumi Aceh, wilayah ujung barat Nusantara. Aceh dikenal sebagai wilayah dengan budaya khas Melayu yang sarat mencerminkan syariat Islam. Dua kerajaan Islam pertama di Nusantara juga berdiri di Aceh ; kesultanan Perlak dan kesultanan Samudera Pasai. Karenanya, Aceh disebut sebagai Serambi Mekkah, sebagai wilayah yang begitu lekat dengan Islam.
Selain dikenal sebagai Serambi Mekkah, Aceh dikenal dengan para pahlawan yang begitu gigih dan pantang menyerah dalam melawan para penjajah. Cut Nyak Dien, Teuku Umar, dan sederet nama pahlawan-pahlawan besar lainnya harum terkenal sebagai para pejuang yang gagah berani melawan penjajahan di tanah Rencong. Bahkan dikatakan dalam sejarah, Aceh adalah salah satu wilayah tersulit untuk ditaklukan oleh para penjajah, karena gigihnya perlawanan dari rakyat Aceh yang digelorakan oleh para pahlawan Aceh. Jadi, it's an honor to have a chance to visit Aceh and take a look of its beauty.
Berkunjung ke Aceh itu kayak mimpi yang jadi nyata buat gua. Saat gua lulus kuliah dan mau daftar CPNS dulu, gua nyaris milih wilayah Aceh, karena cuma Aceh yang menyediakan vacancy buat jurusan gua saat itu. Kalo gak salah di suatu lembaga organisasi dibawah naungan Pemda di wilayah Barat Aceh. Terbesit dalam hati gua,
"Aceh itu gimana ya suasana nya? Penasaran deh pengen ke Aceh. Apa ya udah kali ya, pilih Aceh aja?"
Tapi akhirnya gua memilih ikut CPNS Kemenlu, meski akhirnya gak lolos hehehe..
Terlepas dari CPNS, memang gua penasaran juga dengan Aceh. Gimana suasana disana? Ada apa disana? Gua pengen punya kesempatan untuk berkunjung kesana buat liat Aceh dari dekat. Ternyata di pekerjaan gua yang sekarang bersama Dit. SMP, harapan itu terkabul. Tanggal 20 September 2021, gua bertolak ke Banda Aceh.
Meskipun gua kesana dalam rangka kegiatan dinas luar dan cuma 3 hari di Aceh, kunjungan itu tetap berkesan buat gua. Setelah kerja di kegiatan 2 hari penuh, di hari ketiga gua berkesempatan untuk keliling kota Banda Aceh. Perjalanan dimulai dari sebelum Subuh. Gua lekas bangun pagi-pagi untuk bisa pergi shalat subuh di Masjid Raya Baiturrahman. Kalian pasti tahu lah, Masjid Raya Baiturrahman Aceh yang terkenal itu. Masjid ini memiliki luas 1500 m2 dan sudah berdiri sejak tahun 1881. Masjid ini punya payung-payung besar di halaman depan masjid, mirip dengan yang ada di Masjid Nabawi Madinah. Karena gua kesana menjelang fajar, gua dapat pemandangan sunrise disana. Lucky me, saat sunrise ada pelangi melatar di langit belakang masjid. It looked magical.
Masjid Raya Baiturrahman |
Setelah shalat subuh dan berfoto di masjid, gua dan rombongan beranjak untuk sarapan di warung nasi khas Aceh. Disana gua makan nasi gurih ; nasi yang dibumbui seperti nasi uduk dilengkapi kuah santan sayur labu dan lauk pauk. Sajian sarapan gua itu dilengkapi juga dengan teh tarik. Iya, gua tau kalori nya bejibun, tapi ya... enak sih hehehe..
Setelah sarapan, gua dan rombongan beranjak mengunjungi salah satu objek wisata di Aceh : Kapal Apung. Iya, objek wisata ini tadinya adalah sebuah kapal generator listrik milik PLN, yang memang berada di laut. Kapal super besar dengan panjang 63 meter dan berat 2500 ton ini terdampar sejauh 2,5 KM dari posisi awalnya di pelabuhan setelah diterjang gelombang Tsunami setinggi 9 meter tahun 2004 silam. Saat gua lihat kapal ini dari dekat, naik ke atas nya dan memandang kota dari bagian atas kapal, gua merinding.
'Benda sebesar dan seberat ini, 2500 ton dari baja, bisa bergeser sejauh 2 KM lebih oleh air. Dengan tenaga dari air. Terus, gimana dengan manusia-manusia yang berada jauh dibawah kakinya, menghadapi air dengan kekuatan yang begitu dahsyat?' gua berkata lirih di dalam hati, membayangkan pecahnya kepanikan warga menghadapi gelombang air yang datang secara tiba-tiba dan menyapu semua yang dilewatinya.
Gak jauh dari kapal apung besar itu, juga ada relief dan tugu peringatan yang mencantumkan nama-nama korban dari desa-desa sekitar yang gugur pada peristiwa itu. Gua hitung yang tertulis dari 5 desa aja bisa sampai 300 orang. Itu baru yang tertulis dari 5 desa. I had no idea how many of them were taken by the giant wave in total. Ada sebuah jam di atas tugu peringatan, yang menunjukkan pukul 07:55. Time stopped, then the wave wiped and changed everything.
Setelah berkunjung ke kapal apung, kami beranjak ke toko oleh-oleh untuk membeli souvenir unik khas Aceh. Gua sendiri membeli 2 buah tas kecil yang muat untuk handphone, dengan motif ukir khas Aceh, sementara partner gua membeli sebuah bros kecil berbentuk rencong. Kami lalu beranjak ke Museum Tsunami Aceh, sayangnya museum masih ditutup karena pademi. Jadi kami cuma bisa berfoto di depan tulisan "Museum Tsunami Aceh" yang ada di depan museum. Setelah puas berpetualang menjelajahi kota Banda Aceh, gua dan rombongan kembali ke hotel untuk mandi dan bersiap ke bandara untuk kembali ke Jakarta.
Itu dia cerita perjalanan gua melangkah di bumi Serambi Mekkah. It was a "dream came true" for me, because I had been expecting to visit Aceh before and finally got one. Gua berharap suatu hari nanti bisa balik lagi ke Aceh dan menjelajah lebih jauh, ke wilayah Aceh yang lainnya. Gua beruntung berkesempatan untuk melihat sunrise di tempat istimewa dan melihat saksi bisu dari peristiwa besar yang terjadi di Aceh 17 tahun silam dari dekat. And that made this experience, along with Aceh, special.//
Komentar
Posting Komentar